Ekonomi Bangkit Lewat Pelestarian Mangrove

Diposting oleh Unknown



Upaya konservasi acapkali dipandang sebagai penghambat pengembangan
ekonomi daerah. Namun, pengalaman Dusun Pandansari, Desa Kaliwlingi,
Brebes, Jawa Tengah menunjukkan sebaliknya. Konservasi justru mendukung
perekonomian.

Mashadi, penggerak konservasi mangrove di
Pandansari dan Rusjan, kepala desa setempat menuturkan bagaimana
tindakan perusakan mengancam ekonomi dan kehidupan masyarakat serta
bagaimana upaya pemulihan mangrove melancarkan rezeki.

Mashadi
menuturkan, tahun 1995, Pandansari adalah dusun yang makmur.
Perekonomian desa didukung oleh budidaya udang windu. Rezeki melimpah.
Masyarakat bisa membeli motor, perabot rumah bagus bahkan menyekolahkan
anak hingga jenjang S2.

Merasa bahwa budidaya udang berpeluang
untuk mendulang uang, masyarakat desa kalap. Mereka membabat mangrove
untuk dibuka menjadi tambak. Praktik pencurian kayu mangrove juga marak.
Sabuk hijau yang menjadi pelindung daratan dari hempasan ombak pun
hilang.

Alhasil, bencana pun datang. Abrasi pantai mengikis
daratan. "Desa yang tadinya berjarak 3,5 kilometer dari pantai saat ini
hanya berjarak 500 meter," papar Rusjan saat ditemui Kompas.com di dusun
Pandansari, Sabtu (25/11/2012).

Mashadi mengatakan, abrasi
begitu parah sehingga menenggelamkan tambak-tambak udang. Kejayaan
budidaya udang windu meredup mulai tahun 2005.  Perlahan, terkikisnya
daratan berlanjut pada terkikisnya kemakmuran.

"Abrasi
menghilangkan 290 hektar tambak. Tidak ada lagi cerita panen udang. Kita
menjadi miskin, Tiga tahun lalu, bahkan ada anak yang tidak bisa
melanjutkan sekolah karena tidak punya biaya," katanya.

Budidaya
tambak yang terpuruk membuat masyarakat kaget. Ditambah dengan
tanggungan pajak dusun yang setara pajak kota, kehidupan masyarakat
makin terhimpit. Di titik terbawah itu, masyarakat mulai berpikir sebab
dari kehancuran lingkungan dan ekonominya.

Adalah Mashadi yang
pertama menyadari bahwa salah satu sebab kehancuran adalah ekosistem
mangrove yang rusak. Bersama Yayasan Kanekaragaman Hayati (KEHATI),
sejak 2008, ia mengajak masyarakat untuk merehabilitasi mangrove.

"Kita
lakukan dengan berbagai cara. Masyarakat suka hiburan. Kita sadarkan
dengan kesenian sintren. Kita juga keliling ngamen dengan calung,
berhenti di tempat-tempat ramai dan mulai mengajak masyarakat menanam
mangrove," urainya.

Rusjan mengatakan, "Memang awalnya tidak
mudah menyadarkan masyarakat. Kita berpikir, manungsa berdaya apa, kalau
laut punya kehendak tidak bisa dilawan. Tapi akhirnya kita bisa ajak.
Saat ini sudah 1500 pohon mangrove ditanam di lahan seluas 30 hektar."

Ekonomi
masyarakat memang tak langsung bangkit seperti sebelumnya. Namun,
mereka mulai menemukan peluang untuk memperbaiki hidup. beberapa
kelompok terbentuk. Selain kelompok Mangrovesari untuk pelestarian
mangrove, ada kelompok budidaya rumput laut, kepiting dan kerang.

Warga
mengakui, penanaman mangrove bisa melancarkan rezeki. Sajan, anggota
kelompok budidaya kepiting mengatakan, "Kalau ada air pasang, banyak
kepiting budidaya di keramba biasanya mati. Setelah ada mangrove,
kematian karena air pasang berkurang."

Keuntungan juga didapat
oleh masyarakat yang melakukan kegiatan ngakar, mencari kepiting di
lubang-lubang tanah. Dengan adanya mangrove, kepiting bisa didapatkan
lebih banyak dan lebih mudah.

"Sekarang orang-orang yang ngakar
dapat lebih banyak. Dulu, semalam dapatnya paling hanya Rp 20.000 -
30.000 dari ngakar. Sekarang mereka bisa dapat Rp 100.000 - 150.000 per
malam," kata Sajan.

Hal yang sama juga dirasakan pembudidaya
kerang. "Kalau ada mangrove, ada plankton untuk makanan kerang. Sekarang
kalau kita tebar satu, kita bisa panen lima kali lipatnya. Tinggal
dikali saja untungnya," kata Trisno, anggota kelompok budidaya kerang.

Rehabilitasi
dan pelestarian kawasan mangrove mengizinkan masyarakat memiliki mimpi.
Sajan bermimpi untuk melakukan usaha pembesaran kepiting. Saat ini,
yang dilakukan hanya penggemukan, memelihara dari dewasa hingga layak
jual.

"Saya ingin bisa membesarkan. Artinya dari kecil hanya
sebesar jengkol sampai bisa dijual. Kalau bisa, bibitnya lebih murah,
cuma Rp 5000 per kilo. Kalau untuk penggemukan bibitnya sudah Rp
25.000," urainya.

Perempuan setempat juga bermimpi punya usaha.
Beragam produk hasil budidaya sudah dibuat walau pemasarannya masih
sulit. Sudah ada kerupuk ikan, kepiting dan udang serta nugget dan bakso
berbahan ikan dan kepiting.

Rusjan sebagai kepala desa juga
bermimpi membuat gubug tinggi untuk pengamatan burung. Adanya mangrove
membuat beragam burung datang tiap pagi dan sore. Ia berharap Pandansari
bisa berkembang sebagai lokasi ekowisata. 









(kompas.com)